Dahulu kala, di bumi Kalimantan yang hijau, hiduplah seorang pemuda yang tampan dan sangat pandai meniup suling. Awang Sukma namanya. Selain berwajah tampan, Awang Sukma belumlah menemukan pujaan hatinya, maka dia meniup sulingnya setiap hari. Nyanyian yang dihasilkan dari tiupan sulingnya sangatlah indah, dan mampu menyentuh hati setiap orang yang mendengarkannya. Pada suatu hari, Awang Sukma hendak memanen burung yang terperangkap pada getah pohon Limau yang sedang berbunga. Sebelumnya dia telah memasak getah pohon lalu menempelkannya pada suluh-suluh bambu yang disebut pulut. Pulut itu lalu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika ada burung yang hinggap, mereka akan terjebak didalam pulut tersebut. Semakin burung itu berontak, maka semakin kuat getah yang menempel padanya, hingga burung-burung akan jatuh ke tanah bersama dengan pulutnya. Karena kebiasaannya ini Awang Sukma dijuluki Datu Pulut dan Datu Suling. Setelah kelelahan memanen burung-burung, Awang Sukma berisitirahat dan meniup sulingnya untuk melepas lelah. Terpana akan keindahan lagu yang dia hasilkan, dan semilir angin lembut yang bagaikan buaian, Awang Sukma pun tertidur. Entah berapa lama dia tertidur, sayup-sayup dia dibangunkan oleh kepakan sayap yang diikuti oleh suara cekikikan dan canda tawa. Sambil mengusap-usap matanya Awang Sukma berkata “Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.” Ternyata suara yang dia dengar adalah suara tujuh putri cantik yang terbang menuju telaga.