

Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri


Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada


Aku adalah wangi bungamu, ljka berdarah-darah durimu, semilir sampai badai anginmu


Tuhan datang malam ini di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus dan celoteh sepi


Sebelum sungguh menjadi sadar, bahwa sudah terlanjur terlantar


Aku tak pernah membenci apapun sebesar aku mencintai matamu




Nanti, jika musim hujan tiba, langit akan memandikan gadis kecil itu dengan air matanya




Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur lagi. Juga kau dan kesepian barangkali.


Kita tak membawa apa-apa. Kita tak membawa kemenyan ataupun bunga, kecuali seberkas rencana-rencana kecil (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk kita sombongkan kepada mereka.


Menunggu wajahmu tertawa sekali lagi, mungkin kepada masa depan yang lain


Wahai, betapa remang-remangnya jalan panjang di hatiku


Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung


Kita terdiam saja di pintu; menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu




Pesan berakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan The Beatles: Mother




Kini, saat ini kau dan aku adalah orang-orang asing, terkucil dari alam.


Perasaanku sungguh ingin basah oleh air matanya


Karena kau tidak ‘kan apa-apa. Aku terpanggang tinggal rangka


Semeseta serupa yang kita huni kini, tetapi aku tidak pernah ada di sana.






Sepasang tangannya terentang. Selalu mencintai pisau dan api dapur.


Perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan, ke landasan cakrawala


Kelak kau pasti akan kembali menemukannya, di sela-sela kenangan penuh ilalang


Mengerikan dan menantang. Aku, untuk pertama kali, kau pahami.


Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu