

Apa benar ombak berlari melawan gravitasi untuk dapat memeluk sekali lagi?


Tak ada siang. Karena aku terlampau ingin menjadi malam ganjilmu urutan sembilan puluh sembilan. Di mana kamu akan melihat pada mataku tajam, tak lagi menyesal, tak lagi menyumpah pada janji yang selalu kamu padamkan.


Lucu memang. Merindukan seseorang kadang sesederhana melihat ke awan, serta menyeruput teh manis kesukaan.


Entah kenapa sekarang kotak itu semakin membesar.


Hari ini aku jatuh cinta. Pada puan yang selalu pulang, untuk memeluk dirinya.


Dan jika nanti, manusia berhasil menciptakan mesin waktu…


Yang aku ingat dari jalanan itu, adalah kalian. Tuan dan puan tidak sempurna. Namun selalu. Selalu, …


Atau mungkin sebenarnya kamu dan dia tidak pernah saling menyelamatkan?


Kamu dan pelabuhanmu. Aku bersama galangan kapalku.


Hujan selalu mengaitkan kepalaku kepada bayanganmu. Tapi bagaimana bila tiba-tiba hujan reda?


Sudah dua jam aku menunggu. Tidak ada kamu, tidak ada es teh manis atau mie ayam kesukaanmu.


Manusia dan kota. Bersinggungan, berpelukkan, saling bergantungan, 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯.


Menuju rumah tempat kembali. Menuju kebohongan yang itu-itu lagi?


Antara sungguh dan singgah, antara jarak dan gerak. (Backsound music: Kunto Aji cover Barasuara, mengunci ingatan)


bukankah sesuatu yang sejak awal memang dilarang bersarang, akan pergi juga nantinya dengan terang-terangan?


Pagi hari seolah kita dapat bertukar kehadiran, namun malamnya aku terseok bahkan sekadar untuk yakin kuat bertahan membersamai rembulan.


Dirimu bergegas mananti-nanti fajar karena sudah terlalu semaput untuk mengucapkan selamat tinggal.


Menulis ini terinspirasi dari cerita seseorang yang patah tangan akibat dipukuli. Sayangnya oleh suaminya sendiri. (Backsound; Dhisa, Cintaku Kamu)


Bisa jadi, ingin dan angan bercengkrama. Menaksir-naksir pada jalan yang mana mereka bisa bertegur sapa.


Dulu, kau bilang aku rumah. Lalu mengapa kamu memilih untuk tak lagi singgah?


Doa-doa aku sapa, air mata aku sapu. Dan anehnya, dia sepenuhnya pergi.


Kamu dan hatimu selayak bilangan aritmatika. Di mana janji-janjinu bisa kubagi dua, empat, enam, bahkan delapan.


Tidak akan lagi dia merasa banyak pintu tertutup, padahal selama ini ternyata matanya saja yang terlampau enggan terbuka.


Kadang kamu ingin lari, tapi yang paling sering terjadi kamu bingung membedakan mana ingin mana angan. Mana berserah mana menyerah.


Andai saja aku dan dunia seperti itu. Aku dengan buku favorit, dan dunia dengan imaji-imaji yang seringnya destruktif.


Kata orang aku adalah ribuan doa-doa yang diberi sedikit harap. Enyahlah, cuma kata itu yang bisa aku ucapkan tapi terlalu pelan hingga orang-orang menolak untuk mendengar. Lucu, bahkan suaraku saja tidak seiring dengan inginku.


Ada baiknya aku tidak lagi menutupi kesedihan dengan membangun tembok pertahanan, menyamar pada diam sembari menikmati tiap sudutnya karena terlanjur nyaman, berusaha mati-matian menulis cerita bahagia tapi lupa menentukan siapa pemeran utamanya.


Besok kemarau bergegas pulang, musim hujan datang dengan riang. Pohon randu menghasilkan daun-daun hijau yang baru lagi. Begitu juga manusia, tersenyum, patah hati, lupa diri, dan tidak berhenti.